Unmask Epilepsy! Terapi yang tepat akan mengurangi gejala kekambuhan
Walaupun epilepsi sudah dikenal sejak lama, namun hingga kini masih banyak masalah yang melekat pada penyakit ini sehingga dirasakan san...
https://sehatbuzz.blogspot.com/2015/05/unmask-epilepsy-terapi-yang-tepat-akan.html
Walaupun epilepsi sudah dikenal sejak lama, namun hingga kini masih banyak masalah yang melekat pada penyakit ini sehingga dirasakan sangat penting membuka topeng (unmask) epilepsi. Salah satu masalah epilepsi adalah stigma terhadap Orang Dengan Epilepsi (ODE) dan mispersepsi terhadap penyakit ini. Padahal pada kenyataannya epilepsi sebenarnya sama dengan penyakit-penyakit kronis atau penyakit menahun lainnya. Epilepsi dapat diobati dan dikendalikan sehingga ODE dapat hidup normal bahkan berprestasi.
Di pihak lain, harus dipahami bahwa terapi yang tepat terhadap ODE akan mengurangi gejala kekambuhan dan membantu mereka mencapai kualitas hidup yang baik. Terapi yang tepat akan mengurangi kecenderungan otak untuk mendapatkan bangkitan dengan cara mengurangi kegiatan elektrik yang berlebihan atau mengurangi rangsangan yang diterima oleh neuron atau saraf. Namun perlu diingat bahwa mengganti Obat Anti Epilepsi (OAE) tanpa indikasi yang jelas justru dapat meningkatkan risiko kekambuhan.
Epilepsi merupakan suatu penyakit neurologi menahun yang dapat mengenai siapa saja di dunia tanpa batasan usia, gender, ras, sosial dan ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di Negara berkembang. Dari banyak studi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2/1000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia, dari 237,6 juta penduduknya diperkirakan ODE sekitar 1,1-8,8 juta. Prevalensi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.
dr. Irawaty Hawari, SpS, Ketua YEI dalam sambutannya mengatakan “Untuk pertama kalinya dunia memperingati International Epilepsy day 2015 yang akan diperingati tanggal 9 Februari setiap tahunnya. Peringatan ini diprakarsai oleh The International Bureau for Epilepsy (IBE) dan The International League Against Epilepsy (ILAE) yang diharapkan dapat menjadi suatu langkah besar untuk meningkatkan kepedulian terhadap epilepsi di seluruh dunia sekaligus menginformasikan pentingnya meningkatkan penelitian tentang epilepsi. Sebanyak 138 negara akan serentak merayakan event yang mengangkat topik ‘epilepsy is not just a seizure’ ini.”
“Pada tgl 25 Oktober 1990 perkumpulan epilepsi Indonesia baru dicetuskan dan kemudian secara resmi berubah nama menjadi Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI) pada tgl 8 Oktober 1992. YEI ingin membantu meningkatkan upaya-upaya penanggulangan epilepsi di Indonesia dengan usaha-usaha terutama pada aspek psikososial. Kami menyadari masih adanya stigma dan mitos yang berkembang di masyarakat membuat ODE dikucilkan oleh lingkungan, dikeluarkan dari sekolah, karir dan kehidupan berumah tangga terhambat, sehingga membuat mereka merasa tertekan dan depresi. Oleh karena itu, banyak keluarga dari ODE menutup-nutupi keadaan sehingga membuat penanganan epilepsi menjadi tidak optimal,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, dr. Fitri Octaviana Sumantri, SpS(K),M.Pd.Ked, Neurolog dari RSCM menjelaskan, “Seringkali penyebab epilepsi sulit ditentukan, oleh karena itu diagnosa harus ditegakkan dengan hati-hati setelah melalui anamnesis yang rinci. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain adalah gangguan perkembangan otak yang dapat terjadi sebelum lahir (dalam kandungan). Oleh karena itu antenatal care seperti gizi pada masa kehamilan sangat penting untuk diperhatikan. Di samping itu, perlu diperhatikan keadaan pada saat persalinan maupun setelah lahir. Keadaan-keadaan lain juga harus diperhatikan, misalnya trauma kepala (injury), perdarahan, tumor, infeksi otak atau infeksi selaput otak, faktor genetik serta gangguan metabolisme. ”
Epilepsi dibagi menjadi dua bagian berdasarkan jenis serangannya, yaitu epilepsi umum (kesadaran terganggu) dan epilepsi parsial. Jenis serangan yang termasuk dalam epilepsi umum adalah petit mal (Absence) dimana pasien tampak hilang kesadaran sesaat (bengong), lama biasanya hanya beberapa detik saja, grand mal (tonik klonik) berupa kejang kelojotan seluruh tubuh yang kadang disertai mulut berbusa, tonik yaitu serangan berupa kejang / kaku seluruh tubuh, atonik yaitu serangan berupa tiba-tiba jatuh seolah-olah tidak ada tahanan dan mioklonik, berupa kontraksi dari salah satu atau beberapa otot tertentu.
Dalam presentasinya ia menjelaskan, “Epilepsi bukan penyakit menular. Berbeda dengan yang muncul pada masa kanak-kanak, jenis ini cenderung menetap dan memerlukan pengobatan seumur hidup. Bangkitan pertama pada pasien dewasa harus dievaluasi lebih lanjut. Karena bangkitan yang baru terjadi 1 kali belum tentu didiagnosis sebagai epilepsi. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti EEG, pencitraan otak (MRI kepala) serta pemeriksaan laboratorium.”
“Agar ODE dapat memiliki kualitas hidup yang baik,” lanjutnya, “Bangkitan epilepsi harus dapat terkontrol. Jika terjadi kekambuhan, maka harus dicari dengan teliti faktor pemicunya yang berbeda pada masing-masing ODE. Misalnya, pada perempuan yang berkaitan dengan perkembangan fisiologis sekundernya, yaitu pada masa pubertas, menstruasi (epilepsi katamenial), pada masa kehamilan, persalinan, menyusui, menopause, masa penggunaan kontrasepsi serta masa terapi sulih hormon. Di samping itu, harus dilihat apakah pasien patuh terhadap pengobatan karena hal ini menjadi sangat penting guna mengontrol serangan epilepsi.”
Sementara itu, Neurolog Anak RSCM, DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, SpA(K) mengatakan “Manifestasi klinis epilepsi pada anak dapat bersifat aktif seperti kaku seluruh tubuh, ekstremitas bergerak-gerak ritmik beraturan atau anak tampak mengecap-ngecapkan mulutnya. Serangan dapat pula bersifat negatif seperti anak tiba-tiba lemas seluruh tubuh atau aktifitas anak tiba-tiba berhenti kemudian anak tampak bengong. Jadi bila ada gerakan anak yang tidak seperti biasanya dan berulang maka kita harus curiga bahwa anak mengalami serangan epilepsi. Serangan dapat berupa epilepsi fokal apabila serangan mengenai satu sisi badan, kepala atau mata berpaling ke satu arah. Serangan pada epilepsi umum berupa gerakan seluruh tubuh sisi kiri-kanan seperti kaku, klojotan atau lemas. Jadi tidak benar bahwa anak yang mengalami serangan epilepsi mulutnya harus berbusa. Apalagi ada anggapan bahwa air liur pasien epilepsi dapat menularkan penyakit epilepsi.”
Lebih lanjut DR. Irawan mengatakan, “Epilepsi anak akan sulit diobati jika ada faktor risiko seperti bila usia awal serangan di bawah usia kurang dari 1 tahun, adanya keterlambatan perkembangan, adanya kelainan neurologis seperti kelumpuhan, gambaran EEG tidak normal, adanya kelainan dalam gambaran MRI kepala, bentuk serangan kejang lebih dari 1 macam, atau serangan tidak berhenti dengan satu macam OAE.”
Tentang OAE, ia menjelaskan, “Tujuan pemberian OAE adalah agar serangan epilepsi berhenti. Sehingga diharapkan orang tua mengikuti anjuran dokter untuk memberikan OAE selama 2 tahun kepada anak agar terbebas dari kejang. Laporkan bentuk serangan epilepsi terutama bila bentuk serangan berbeda. Orang tua juga perlu mengetahui efek samping OAE yang diminum anak dan apa yang harus dilakukan bila timbul efek samping obat tersebut. Namun penting untuk diingat, penggantian OAE tanpa alasan yang kuat sebaiknya tidak dilakukan karena dalam banyak penelitian ditemukan bahwa hal ini malah mengakibatkan kekambuhan serangan. Perlu diingat bahwa masing-masing OAE secara terapetik tidak ekuivalen.”
“Selalu pastikan ketersediaan obat penghenti kejang karena serangan epilepsi dapat terjadi sewaktu-waktu. Perlu diperhatikan juga bila anak mengalami serangan, perhatikan dengan baik gerakan kepala dan anggota gerak. Ini penting untuk diceritakan ke dokter tentang bentuk serangan anak. Laporan bentuk serangan anak akan membantu dokter dalam menentukan pilihan obat epilepsi yang tepat. Bila tersedia obat penghenti kejang segera masukkan melalui dubur anak. Bila kejang tidak berhenti, dapat diberikan obat penghenti kejang sekali lagi. Dampingi anak sampai sadar kembali. Tidak diperbolehkan memasukkan benda ke dalam mulut diantara gigi atas-bawah. Lidah tergigit lebih sering terjadi pada anak yang mengalami retardasi mental. Tidak boleh pula anak diikat saat serangan kejang,” tutupnya.
“Pada tgl 25 Oktober 1990 perkumpulan epilepsi Indonesia baru dicetuskan dan kemudian secara resmi berubah nama menjadi Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI) pada tgl 8 Oktober 1992. YEI ingin membantu meningkatkan upaya-upaya penanggulangan epilepsi di Indonesia dengan usaha-usaha terutama pada aspek psikososial. Kami menyadari masih adanya stigma dan mitos yang berkembang di masyarakat membuat ODE dikucilkan oleh lingkungan, dikeluarkan dari sekolah, karir dan kehidupan berumah tangga terhambat, sehingga membuat mereka merasa tertekan dan depresi. Oleh karena itu, banyak keluarga dari ODE menutup-nutupi keadaan sehingga membuat penanganan epilepsi menjadi tidak optimal,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, dr. Fitri Octaviana Sumantri, SpS(K),M.Pd.Ked, Neurolog dari RSCM menjelaskan, “Seringkali penyebab epilepsi sulit ditentukan, oleh karena itu diagnosa harus ditegakkan dengan hati-hati setelah melalui anamnesis yang rinci. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain adalah gangguan perkembangan otak yang dapat terjadi sebelum lahir (dalam kandungan). Oleh karena itu antenatal care seperti gizi pada masa kehamilan sangat penting untuk diperhatikan. Di samping itu, perlu diperhatikan keadaan pada saat persalinan maupun setelah lahir. Keadaan-keadaan lain juga harus diperhatikan, misalnya trauma kepala (injury), perdarahan, tumor, infeksi otak atau infeksi selaput otak, faktor genetik serta gangguan metabolisme. ”
Epilepsi dibagi menjadi dua bagian berdasarkan jenis serangannya, yaitu epilepsi umum (kesadaran terganggu) dan epilepsi parsial. Jenis serangan yang termasuk dalam epilepsi umum adalah petit mal (Absence) dimana pasien tampak hilang kesadaran sesaat (bengong), lama biasanya hanya beberapa detik saja, grand mal (tonik klonik) berupa kejang kelojotan seluruh tubuh yang kadang disertai mulut berbusa, tonik yaitu serangan berupa kejang / kaku seluruh tubuh, atonik yaitu serangan berupa tiba-tiba jatuh seolah-olah tidak ada tahanan dan mioklonik, berupa kontraksi dari salah satu atau beberapa otot tertentu.
Dalam presentasinya ia menjelaskan, “Epilepsi bukan penyakit menular. Berbeda dengan yang muncul pada masa kanak-kanak, jenis ini cenderung menetap dan memerlukan pengobatan seumur hidup. Bangkitan pertama pada pasien dewasa harus dievaluasi lebih lanjut. Karena bangkitan yang baru terjadi 1 kali belum tentu didiagnosis sebagai epilepsi. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti EEG, pencitraan otak (MRI kepala) serta pemeriksaan laboratorium.”
“Agar ODE dapat memiliki kualitas hidup yang baik,” lanjutnya, “Bangkitan epilepsi harus dapat terkontrol. Jika terjadi kekambuhan, maka harus dicari dengan teliti faktor pemicunya yang berbeda pada masing-masing ODE. Misalnya, pada perempuan yang berkaitan dengan perkembangan fisiologis sekundernya, yaitu pada masa pubertas, menstruasi (epilepsi katamenial), pada masa kehamilan, persalinan, menyusui, menopause, masa penggunaan kontrasepsi serta masa terapi sulih hormon. Di samping itu, harus dilihat apakah pasien patuh terhadap pengobatan karena hal ini menjadi sangat penting guna mengontrol serangan epilepsi.”
Sementara itu, Neurolog Anak RSCM, DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, SpA(K) mengatakan “Manifestasi klinis epilepsi pada anak dapat bersifat aktif seperti kaku seluruh tubuh, ekstremitas bergerak-gerak ritmik beraturan atau anak tampak mengecap-ngecapkan mulutnya. Serangan dapat pula bersifat negatif seperti anak tiba-tiba lemas seluruh tubuh atau aktifitas anak tiba-tiba berhenti kemudian anak tampak bengong. Jadi bila ada gerakan anak yang tidak seperti biasanya dan berulang maka kita harus curiga bahwa anak mengalami serangan epilepsi. Serangan dapat berupa epilepsi fokal apabila serangan mengenai satu sisi badan, kepala atau mata berpaling ke satu arah. Serangan pada epilepsi umum berupa gerakan seluruh tubuh sisi kiri-kanan seperti kaku, klojotan atau lemas. Jadi tidak benar bahwa anak yang mengalami serangan epilepsi mulutnya harus berbusa. Apalagi ada anggapan bahwa air liur pasien epilepsi dapat menularkan penyakit epilepsi.”
Lebih lanjut DR. Irawan mengatakan, “Epilepsi anak akan sulit diobati jika ada faktor risiko seperti bila usia awal serangan di bawah usia kurang dari 1 tahun, adanya keterlambatan perkembangan, adanya kelainan neurologis seperti kelumpuhan, gambaran EEG tidak normal, adanya kelainan dalam gambaran MRI kepala, bentuk serangan kejang lebih dari 1 macam, atau serangan tidak berhenti dengan satu macam OAE.”
Tentang OAE, ia menjelaskan, “Tujuan pemberian OAE adalah agar serangan epilepsi berhenti. Sehingga diharapkan orang tua mengikuti anjuran dokter untuk memberikan OAE selama 2 tahun kepada anak agar terbebas dari kejang. Laporkan bentuk serangan epilepsi terutama bila bentuk serangan berbeda. Orang tua juga perlu mengetahui efek samping OAE yang diminum anak dan apa yang harus dilakukan bila timbul efek samping obat tersebut. Namun penting untuk diingat, penggantian OAE tanpa alasan yang kuat sebaiknya tidak dilakukan karena dalam banyak penelitian ditemukan bahwa hal ini malah mengakibatkan kekambuhan serangan. Perlu diingat bahwa masing-masing OAE secara terapetik tidak ekuivalen.”
“Selalu pastikan ketersediaan obat penghenti kejang karena serangan epilepsi dapat terjadi sewaktu-waktu. Perlu diperhatikan juga bila anak mengalami serangan, perhatikan dengan baik gerakan kepala dan anggota gerak. Ini penting untuk diceritakan ke dokter tentang bentuk serangan anak. Laporan bentuk serangan anak akan membantu dokter dalam menentukan pilihan obat epilepsi yang tepat. Bila tersedia obat penghenti kejang segera masukkan melalui dubur anak. Bila kejang tidak berhenti, dapat diberikan obat penghenti kejang sekali lagi. Dampingi anak sampai sadar kembali. Tidak diperbolehkan memasukkan benda ke dalam mulut diantara gigi atas-bawah. Lidah tergigit lebih sering terjadi pada anak yang mengalami retardasi mental. Tidak boleh pula anak diikat saat serangan kejang,” tutupnya.